Tara's Birthday

babies Lilypie1st Birthday Ticker

Wednesday, September 20, 2006

NEPOTISME KULTURAL

Di bawah ini adalah kiriman kak Kartono Mohamad di milis Binabud, isinya bagus sekali... Btw ada link berita dari Newsweek tentang Paus Benedict XVI, silahkan di baca di
sini
.

--------------------------------------------------------------------------------

Kartono Mohamad



Nepotisme kultural bukanlah budaya nepotisme. Istilah nepotisme kultural saya kutip dari tulisan John Launer, redaktur majalah Quality Journal of Medicine dalam editorial majalah tersebut edisi tahun 2004. Ia mengkritik kalangan kedokteran Eropa yang tidak mau mengakui rintisan yang dilakukan oleh pakar kedokteran Islam dalam perkembangan ilmu kedokteran
modern. Ia mengambil contoh bahwa kedokteran Eropa hanya mengenal William Harvey sebagai penemu sistem sirkulasi darah dalam tubuh manusia. Padahal tiga abad sebelum Harvey, Ibn al-Nafis, seorang dokter muslim dari Syria sudah menuliskan tentang sirkulasi darah antara jantung dan paru-paru.

Tulisan al-Nafis itu kemudian diajarkan di Eropa oleh Michael Servetus di abad keenambelas. Servetus sendiri kemudian divonis hukuman mati oleh Gereja karena dianggap mengajarkan ilmu yang menyimpng dari ajaran agama (heresy) dan melakukan penghujatan terhadap agama. Nasibnya lebih buruk dari Galileo karena di tahun 1553 Servetus disalib dan dibakar hidup-hidup. William Harvey memepajari tulisan-tulisan al-Nafis melalui Servetus dan kemudian Harvey berhasil mengungkapkan sistem aliran darah antara jantung, paru-paru
dan tubuh secara utuh.

John Launer menuduh bahwa kalangan ilmuwan Eropa di abad pertengahan menjadi congkak dan merasa bahwa Eropalah pemula peradaban dunia tanpa mau mengakui atau bahkan mempelajari sejarah perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di jaman kejayaan kerajaan Islam menguasai Eropa di barat sampai ke India di timur. John Launer mengatakan bahwa selama ribuan tahun, sejak kemenangan Khalifah Umar di abad ketujuh sampai keruntuhan kerajaan Ottoman di abad ketujuh belas, peradaban masyarakat dari tepi lautan Atlantik sampai ke ujung samudera Hindia praktis didominasi oleh peradaban Islam.

Kecongkakan itulah yang ia anggap sebagai nepotisme
kultural. Eropa menganggap kerajaan Romawilah tolok ukur awal peradaban modern. Tanpa mau menyadari bahwa ketika Eropa masih berada dalam jaman kegelapan (Dark Ages) dan abad pertengahan, peradaban Islam sudah berjaya selama empat ratus tahun.

Bahkan ketika penguasa-penguasa Eropa masih terbenam dalam pola pikir yang superstitious barbarism, pimpinan Islam di Spanyol sudah menunjukkan sikap yang toleran terhadap agama lain. Sebelum kedatangan Islam di Spanyol, orang Yahudi sangat ditekan, tidak boleh membuka sekolah Yahudi, dan selalu dijadikan kambing hitam kalau terjadi bencana. Ketika kerajaan
Islam berkuasa di Spanyol, terdapat tolerasni yang sangat tinggi dan terjadi sinergi lintas budaya. Dari toleransi itu lahir bukan saja ilmuwan Muslim tetapi juga ilmuwan Yahudi dan Keristen. Justru sikap yang sebaliknya ditunjukkan oleh raja Phillips yang merebut kembali Spanyol dari orang Islam dan melakukan inquisition yang dengan kejam memaksa umat Islam Spanyol untuk memeluk agama Katolik. Pola yang juga dilakukan oleh Spanyol ketika merebut Filipina dari kekuasaan raja Ternate dan mengubah orang Filipina dari Islam ke Katolik dengan kekerasan.

John Launer mengutip pandangan sejarawan Bernard Lewis yang dapat memahami kepedihan, sakit hati, dan kecurigaan kalangan Muslim yang berkelanjutan sampai sekarang. Bahkan Bernard Lewis seperti dikutip John Launer mengatakan, There is pain at the Western capacity to denigrate the Islamic past or to deny it altogether, and at our capacity to see Western
acts of violence as aberrant or merely reactive, while we regard that of the Muslim world as pathognomonic or definitional. Kekerasan yang dilakukan oleh dunia Barat dianggap sebagai penyimpangan atau reaksi terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang lain, sementara kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslim dianggap sebagai ciri wanti (pembawaan) atau memang bagian dari ajarannya.

Sampai kapan

Ungkapan Paus Benedictus yang men-single out Islam sebagai
contoh agama yang pernah menggunakan pedang untuk penyebarannya menunjukkan bahwa Paus pun masih dihinggapi oleh nepotisme kultural. Ia melupakan bahwa dalam sejarah, agama Keristen juga pernah melakukan hal yang sama, melalui Perang Tigapuluh Tahun di Eropa ketika negara-negara Eropa yang Katolik memerangi mereka yang mengikuti ajaran Protestan; melalui Inquisition yang antara lain ditujukan kepada umat Muslim dan Yahudi terutama setelah runtuhnya kerajaan Islam di Cordoba., dan sebagainya.

Tetapi buat apa mengungkit sejarah hitam penyebaran agama-agama Timur Tengah itu saat ini? Mengklaim bahwa agama saya lebih sejuk dan lebih damai dibanding agama orang lain bukan saja tidak membuat dunia ini lebih sejuk dan lebih damai tetapi justru menjadi lebih panas. Sejarah telah berkali-kali menunjukkan bahwa peperangan terjadi karena adanya nepotisme kultural (meminjam istilah John Launer) pada kedua belah pihakyang bertikai.
Baik di tingkat lokal, regional maupun dunia. Baik antara sesama bangsa, budaya, agama, maupun antara mereka yang berbeda budaya, bangsa dan agama.

Milton Bennet, pakar pembelajaran antar budaya (Intercultural Learning) menyimpulkan bahwa seseorang yang terpapar kepada budaya lain akan melewati enam tahapan sebelum ia dapat secara bijaksana melihat budaya orang lain dan hidup bersama mereka secara damai. Tahap itu adalah Penolakan, Mempertahankan Diri, Minimisasi Perbedaan, Menerima Perbedaan, Menyesuaikan Diri Dengan Perbedaan, dan Mengintegrasikan Perbedaan. Meskipun komunikasi antar budaya dan mobilitas manusia dalam bergaul dengan manusia lain sudah sangat tinggi, ternyata banyak di antara kita, terutama para elit pemimpin bangsa dan umat, yang baru memasuki tahap kedua. Tahap Mempertahankan Diri terhadap perbedaan. Yaitu melihat budaya lain sebagai ancaman. Kemudian membuat pernyataan-pernyataan yang men-stereotip-kan budaya lain secara negatif atau menganggap budayanya adalah yang paling superior.

Inilah nepotisme kultural yang selalu mendorong terjadinya kekerasan dan peperangan. Keinginan hidup berdampingan secara damai akan terus sebatas retorika, entah sampai kapan. Untuk mengurangi nepotisme kultural dan menurunkan ketegangan anta budaya, khususnya di bidang kedokteran, John Launer mengusulkan agar kalangan kedokteran Barat bersedia
memberikan penghormatan kepada Ibn al-Nafis yang setelah meninggal mewariskan rumah, tanah dan perpustakaan pribadinya untuk sebuah rumah sakit di Kairo. Barangkali juga di sisi lain umat Muslim bersedia memberikan penghormatan yang serupa kepada ilmuwan Keristen atau Yahudi yang telah ikut membawa nama baik Islam atau karya-karya yang bermanfaat bagi Islam. Sebagai contoh kecil, misalnya, MUI atau ICMI memberikan penghargaan kepada almarhum F. Silaban, arsitek masjid Istiqlal yang megah itu. Pertanyaan dasarnya
adalah benarkah kita sungguh-sungguh ingin damai?

No comments: