Tara's Birthday

babies Lilypie1st Birthday Ticker

Thursday, December 21, 2006

Pencerahan??? gak juga :o)

Pernah penasaran??? Kalo pernah pasti tau dong gimana rasanya... gak bakal puas sampe rasa penasaran itu hilang dan kita temuin jawabannya kan?
Ya seperti itulah yg gue rasain beberapa hari ini.. dan sekarang beberapa saat lalu malam ini (coba liat dong gue postingnya kapan...) akhirnya gue dapet jawabannya (itulah jawaban dari persistent yaa.. walau jarang bisa konsisten.. hehehe) ...

Tapi.. dari situ juga gue merasa kalo gue itu gak pernah bersyukur yaa dan gak pernah puas... mau jadi apa sih... punya keluaraga yang baik... punya istri yang cantik dan baik... punya pekerjaan yang baik... Insya Allah malah mau di kasih rezeki paling gede yang pernah ada.. Anak...

Tapi ya itu.. gak pernah konsisten bersyukurnya... udah tau dikasih yang baik-baik tapi tetep aja gak keliatan syukurnya.. bukannya gak sadar... tapi terlalu males dan terlalu di perbudak nafsu sih... (hehehe sekedar pembelaan diri kedengarannya yaa) maunya sih sadar trus konsisten... tapi kenyataannya kadang iya.. kadang enggak...

Maunya sih minta sama Tuhan supaya diberi kekuatan.. tapi sadar juga kalo gak kitanya yg gak berubah.. Tuhan juga males kali... (Walau tetep minta ke Tuhan... Ya Allah berilah aku kekuatan)

Nulis ini juga cuma mau curhat aja.. abis daripada ilang lagi niat nulisnya.... plus harapan moga-moga bisa jadi orang yang lebih baik...

I'm 29 now...

Sebenernya sih ulang tahunnya kemaren 20 Desember...
mau tau siapa yang pertama ngasih selamat ulang tahun??? ya istri gue dong... tengah malem coba.. di bela2in buat ngucapin Happy B'Day sementara guenya cuma ngigo gak karuan.. maaf ya sayang... (kalo pun ada yang lain ya gue gak bakal cerita di sini lah.. bisa di gantung... hehehe GAK sayang.. gak ada yang lain kok...), kalo yang kedua?
baby tercinta lewat bundanya trus orang2 rumah (bapak & mamah mertua, cica).. trus mamah tercinta... trus... trus ACC... trus salesnya Sun Life hehehe...

Pagi2nya pas udah sadar... di kasih kartu sama istri gue.. tulisannya bagus deh... hmm apa ya? ada deh di kartu :op

Siangnya ngajak makan temen2 kantor di Churrasco - Brazilian BBQ yg ada di Setiabudi Bld. , sebenernya sih enak makannya gak kaya waktu gue nyoba pertama yg di La Piazza, tapi dagingnya tuh keluar seabad sekali kayanya.. lama bener.. sampe gak enak sama yang lain..
Well anyway mereka ngasih gue hadiah loh (I'll miss you guys) sepatu Fila merah... tas Fila merah sama kaos Fila merah.. (serba merah coy) thanks to mr. ksan buat idenya... tadi pagi gue udah pake buat fitness... serba baru.. serba merah...

Malemnya di rumah (rumah mertua sih sebenernya) gue dinyanyiin lagu2 selamat ulang taun gitu... serasa anak kecil.. tapi seneng... plus dapet banyak hadiah.. hehehe
Plus istri gue beliin ice cram cakenya baskin robins... nyam.. nyam... trus tiup lilin deh... mau tau wishlist gue gak pas tiup lilin... gak ah... gak mau kasih tau... pamali.. hehehe

Sudah 29 tahun di dunia... bisa jadi lebih baik???

Tuesday, December 19, 2006

Muslims Partaking In the Celebration Of Christmas

Postingan di bawah ini didapat dari milis Binabud yang dikirimkan oleh kak Kartono Muhammad, silahkan di baca...


------------------------------------------------------------------------------------


Jawaban dalam Arab News ini mencerminkan jawaban orang yang percaya diri, tanpa cemburu atau takut kehilangan umat. Mungkin karena penjawab merasa bahwa iman Islamnya sudah kuat sehingga tidak mudah tergoyahkan.

Hanya orang yang merasa rendah diri (menderita inferiority complex), merasa kalah, tidak percaya diri, yang mempunyai pandangan yang serba curiga, bahkan cenderung paranoid, terhadap mereka yang dianggapnya lebih kuat dan lebih berhasil. Silakan dicerna. Kalau mau bantah, ya bantahlah ke Arab News. Ada websitanya yang juga menerima kritik dari pembacanya.

KM





Muslims Partaking In the Celebration Of Christmas



Some years ago I married an English girl who decided later to convert to Islam, without any pressure from me. We had then to move to Denmark where we have been living for the last few years. Needless to say, that has restricted our visiting my parents-in-law. It so happens that my wife and children visit her parents for two weeks at Christmas time.
The parents accept the fact that their daughter has become a Muslim and respect Islamic teachings with regard to food and drink when she is with them, to the extent that we do not see pork or an alcoholic drink in their home during our visits.
My wife gives them gifts at Christmas and they in return give her and my children presents at Christmas. I am thinking of telling my wife not to visit them next Christmas. Please advise.

A woman companion of the Prophet, peace be upon him, once told him that her mother had come to visit her, and that the mother was a non-believer who shared the pagan beliefs of the Arabs. She asked the Prophet, peace be upon him, whether it was appropriate for her to be kind and dutiful to her mother The Prophet, peace be upon him, ordered her to be so.

You have been following the proper practice, which Islam urges by maintaining good relations with your wife's parents. From what you have said about their behavior, they seem to be broad-minded people who will not cause you, your wife or children any harm. You may maintain warm relations with them.

Nor is there any harm in giving them gifts on Christmas, because the Prophet peace be upon him, did not instruct Muslims not to do so. On the contrary, giving non-believers presents on their festive occasions is encouraged as long as they behave in a proper manner toward Muslims and Islam. Your parents-in-law seem to fall in this category of people. If you feel uneasy
about your children developing the habit of associating Christmas with festivity and good presents from their grandparents, then perhaps you could suggest to your parents-in-law, in a gentle way that does not offend them, that you would prefer that they delay the gifts to your children until the new year, or some other occasion, such as Eid.

You should try to make sure first that they will receive your suggestion without taking offense, and that they will be accommodating. If you determine that they may be offended at your suggestion, then it may be more advisable not to broach the subject at all. Instead, you can explain to your children that the gifts they receive at Christmas have no religious value. From what you tell me about your children and the way they cope with interfaith relationship, I feel that they will easily understand.

Friday, December 08, 2006

Benarkah Poligami Sunah?

Minggu-minggu ini lagi rame banget masalah poligami cuma gara-gara Aa Gym kawin lagi.
Di bawah ini ada satu artikel yang bagus tentang poligami.. Selamat membaca...

--------------------------------------------------------------------------------
Faqihuddin Abdul Kodir


UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaranp oligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).


DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidakmengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha dan Syekh Muhammad al-Madan -ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir -lebih memilih memperketat. Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun.Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul(kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir(544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA. Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan"poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja,menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rūh al-Ma’āni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.
Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jāmi’ al-Ushūl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA,Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas danterputus" (Jāmi’ al-Ushūl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan,dan pengembalian pada prinsip keadilan.
Dari sudut ini, pernyataan"poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi.Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah,aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku;apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga."
(Jāmi’ al-Ushūl, juz XII,162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi,poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidakdikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya.

Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaans umber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuanyang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik.

Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi,namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000;terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memangdiperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip.


Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah,yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah). Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat. Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidakdibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain."(Jāmi’a al-Ushūl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti FahminaInstitute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah